Alah Bisa Karena Terpaksa

Bismillah,

Sudah lama rasanya tidak menulis dalam bahasa ibu sendiri, haha. Mungkin harus lebih dilatih lagi bagaimana supaya bisa menulis dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa terasa baku. One baby step at a time, yea? Kebetulan tema #1m1c minggu ini lumayan nyangkut di kepala, jadi sekalian saja dimanfaatkan untuk latihan menulis dengan bahasa Indonesia lagi. Mohon maaf sebelumnya kalau masih akan ada bahasa Inggris bertebaran di beberapa tempat. Semoga tidak dicap anak Jaksel 😀 karena sebenarnya penghuni planet Bekasi.

Saya percaya betul dengan pepatah alah bisa karena terbiasa. Inilah salah satu alasan kenapa habit is powerful, kebiasaan itu sangat berguna. Ada beberapa riset yang pernah saya baca bahwa kebiasaan itu akan jadi bagian dari diri kita sendiri setelah diterapkan selama 21 hari berturut-turut. Kalau sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tentunya jadi sangat mudah untuk dilakukan dan terasa berat kalau ditinggalkan.

Tapi beberapa tahun belakangan ini sejak pindah ke Jerman, saya juga mulai percaya dengan prinsip alah bisa karena terpaksa — jadi bisa karena harus bisa. Bagaimana tuh ceritanya?

Terpaksa harus bisa masak

Sewaktu masih tinggal di Singapura, kami punya ART di rumah yang alhamdulillah sangat mumpuni dalam hal masak. Rutinitas saya yang berhubungan dengan dapur ya cuma belanja isi kulkas dan itu pun sempat tergantikan dengan layanan groceries delivery selama beberapa bulan.

Sejak pindah ke Jerman, mau tidak mau ya harus bisa masak karena di Jerman, tidak banyak restoran yang menyediakan menu halal. Dan yang tersedia ya … kalau bukan kebab, ya pizza. Begituuu terus. Lama-lama bosan juga. Ada sih restoran Indonesia di dekat rumah, alhamdulillah. Tapi ya tidak mungkin juga beli di luar terus karena kalau beli di luar terus, biaya makan bisa membengkak. Satu porsi kebab harganya antara 3-4 EUR. Makanan Indonesia standarnya 6-7 EUR. Bisa dihitung ya kalau sehari makan dan dikali 4 orang di rumah. Tapi lebih baik jangan biar nggak sakit hati.

Selain bisa lebih hemat dan kehalalan terjaga, tentunya menu makanan bisa lebih bebas dan variatif kalau kami masak di rumah. Selain itu, lidah kami yang orang Sumatera lebih puas dengan bumbu pedas yang levelnya di atas rata-rata, haha.

Terpaksa harus bisa bahasa Jerman

Walaupun negara maju, sama seperti Jepang, urusan birokrasi di Jerman tetap harus dengan bahasa Jerman. Masyarakatnya pun masih sebagian besar tidak bisa bahasa Inggris dengan lancar. Tentunya kami sebagai pendatang ya harus berusaha beradaptasi dengan bahasa ini. Alhamdulillah, anak-anak (terutama Z) tidak ada masalah berarti dengan adaptasi bahasa ini. Suami juga sekarang sudah bisa berkomunikasi seadanya kalau ‘terpaksa’ harus dengan bahasa Jerman. Tinggal saya yang masih tertatih-tatih haha. Doakan semoga cepat bisa lancar, minimal bisa ngobrol sama tetangga atau guru anak-anak.

Terpaksa harus bisa bertukang

Ini khusus buat Suami sebenarnya. Rumah kami sekarang benar-benar kosong melompong waktu kami datang. Perabotan pun harus kami isi sendiri. Dan apesnya, waktu kami datang ke Berlin itu saat musim liburan dimana hampir tidak ada tukang yang bisa diperkerjakan. Apa boleh buat — dengan berbekal peralatan seadanya, Suami dibantu teman mahasiswa disini gotong royong merakit perabotan seperti lemari, tempat tidur, dan rak buku.

Sekarang pun karir pertukangan beliau semakin merambah ke perabotan rumah lain — termasuk yang memerlukan alat bor sampai perlengkapan cat rumah. Urusan-urusan rumah yang dulu biasanya kami selesaikan dengan memanggil tukang, sekarang akhirnya diselesaikan sendiri. Dan juga demi menghemat pengeluaran 😀

***

Sebenarnya masih banyak sih yang masuk kategori ‘bisa-karena-terpaksa’ ini. Tapi yang paling utama sepertinya tiga di atas itu. Mungkin karena yang lain-lain lebih terasa ringan ya, haha.

Walaupun awalnya terpaksa, tapi sekarang terasa sekali gunanya. Kami bisa menghemat biaya makan karena masak di rumah, bisa sedikit-sedikit memahami bahasa Jerman karena terpaksa belajar, dan bisa bertukang dan memperbaiki hal-hal kecil di rumah. Kemungkinan besar kalau kami tidak terpaksa, mungkin kami tidak akan pernah bisa.

Yak, sekian ceritanya. Selamat weekend! 🙂

Kembali ke dapur,

 

 

 

Please follow and like us: