Jakarta 2019

Bismillah,

Secara tidak sengaja judul postnya mirip-mirip judul film yang memunculkan shipper Iqbaal-Vanesha bak jamur wkwk~

Buat yang ngefollow IG saya (ciyee berasa femes) mungkin aware kalau 3 minggu yang lalu saya dan keluarga sedang liburan aka mudik ke Jakarta (Bekasi deng). Anak-anak sedang Sommerferien (trans: liburan musim panas) dan kami sudah 1.5 tahun tidak mudik — jadi ya sekalian saja 🌴

Rasanya baru sebentar kami tinggalkan Jakarta tapi begitu kami mendarat di Soekarno Hatta dua minggu yang lalu, waaa sudah banyak yang berubah ya? Terminal 3 sudah rampung dan waktu kami mendarat disana, kelihatan tidak jauh beda dengan Changi (minus karpet, alat pijat dan toko-toko branded). Eh mungkin masih jauh but it was definitely an improvement.

Kami juga sempat mencoba terminal bus di Soetta dan puas dengan kenyamanan yang ada 🚍 – walaupun jadwal kedatangan bus masih bisa ditingkatkan tapi yaa mengingat lalu lintas ibukota yang tidak bisa ditebak, kami pun maklum.

Pulang ke Jakarta setelah lebih dari 1 tahun ternyata juga lumayan membuat kami terkaget-kaget dengan tren yang ada di Indonesia sekarang. Some are good, some are…making us scratching our head. Tapi ada juga hal-hal yang masih sama dan tetap membuat kami merasa kalau kami pulang ke rumah.

Cashless, cashless, cashless 💰

Ke mall kiri kanan kalau lewat toko-toko di sana pasti ada tulisan cashback dimana-mana wkwk. Kalo ga O*O ya G*PAY.

Metode cashback ini efektif ya sepertinya buat mendorong gaya hidup cashless — tinggal flash handphone, kita langsung dapat makanan/barang yang kita mau plus cashback dari e-money merchant. Pernah lihat juga IG story seorang teman yang cerita dia bisa hidup sebulan tanpa cash — cuma bermodalkan e-money yang sudah ditop-up di awal bulan plus kartu-kartu penting lainnya. Praktis tanpa dompet!

Yang mana membuat saya terkagum-kagum wkwk. Waktu masih di Singapura sebenarnya saya lumayan akrab dengan gaya hidup seperti ini. Ga ada cash di dompet pun saya masih bisa makan walaupun mesti ke tempat yang agak mahal karena hawker centre biasanya ga ada yang terima pembayaran dengan kartu. Kalau di Berlin sih wassalam karena suprisingly (buat saya waktu pertama kali datang), Berlin itu masih cash oriented society. Saya pun sekarang terbiasa minimal mesti ada beberapa lembar EUR di dompet kalau keluar rumah dan suka panik kalo pergi ke area yang ga ada ATM.

Balik ke budaya cashless di Indonesia sekarang — memang sih semua jadi super efisien dan mudah dan saya pun tergoda untuk mencoba salah satu merchant saat di Jakarta kemarin. Sayangnya tersandung mesti punya no hape Indonesia :p.

Btw, cashless ini bikin kita jadi makin konsumtif ga ya? Saya kok kebayangnya kita jadi gampang banget belanja sana sini bahkan yang tadinya ga kepikiran sama sekali — begitu liat ‘wow ada cashback sekian!’ langsung flash handphone and bam!

Powerbank is a must 💡

Ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi ya gaes, ahaha.

Di Berlin, jaraaang banget ngeliat orang yang sampe bela-belain bawa powerbank kemana-mana termasuk ke kantor atau sekedar jalan-jalan di kota. Ini mungkin lebih ke kebiasaan Berliners yang ga selalu pakai hape kalau di jalan — jadi ya konsumsi batere hape mereka ngga begitu banyak. Kebalikan dengan apa yang saya lihat di Jakarta saat mudik kemarin dimana saya sering banget liat orang itu ngecharge hape dengan powerbank sambil dipake. Saya sih mikirnya cuma ‘ribet amat kok sampe harus pake powerbank segala, ga nunggu aja sampe rumah baru dicharge?’

Tapi ternyata memang powerbank itu penting sekali di Jakarta.

Jadi, seperti layaknya Jakartans (and Bekasians), kami pun mengandalkan taksi online/ojol buat mobilitas selama di Jakarta kemarin. Pernah ada satu kejadian dimana kami jauh dari rumah (like, Bunderan HI-Bekasi jauh), batere hape suami habis, sementara batere hape saya tinggal single digit persen. Kami masih harus memesan taksi online supaya bisa pulang dan susahnya ternyata si driver muter-muter di sekitaran tempat kami menunggu dan ga sampe-sampe.


Jadilah saya ditelpon berkali-kali untuk memastikan kami menunggu dimana. Belum lagi mesti memantau chat dan lokasi si driver menggunakan mobile data dan tentunya memakan batere lebih parah. Saya pun deg-degan menunggu driver sampai sambil berdoa supaya hape saya bertahan sampai paling tidak kami naik ke mobil.

Alhamdulillah si driver sampai dan saat saya mengecek batere hape… TIGA PERSEN.

Noted: di Jakarta harus bawa powerbank. Just in case.

Coffee with brown sugar is the new trend ☕️

Itulah reaksi saya waktu pertama kali lihat trend ini di salah satu akun Instagram makanan Jakarta (sungguh keputusan yang salah btw apalagi saat bulan puasa wkwk). Bukan karena brown sugar nya, tapi lebih ke ‘why is this a trend NOW?’.

Isn’t this simply.. kopi es cendol?

*plak*

Dan karena saya pengen jadi anak kekinian (lol) maka saya pun mencoba beberapa kedai minuman (bless ojol really) yang punya option brown sugar — rasanya…

…. biasa aja dong.

***

Begitulah. Walaupun lahir dan besar di Jakarta (well Bekasi), saya masih geleng-geleng kepala dengan trend yang ada sekarang. Rasanya ga kenal Jakarta sama sekali haha. Tapi untungnya, ada bagian-bagian Jakarta yang belum berubah dan masih sama seperti dulu yang bikin kangen pulang.

Pedagang asongan, pengamen jalanan, dan angkot 🚌

Sebagai anak Bekasi yang dulu sekolah di Jaksel, tentunya saya menghabiskan waktu commute saya di angkot. Rute saya waktu SMA adalah Kalimalang-Kampung Melayu-Tongtek (hayoo tebak saya sekolah dimana hahaha). Angkot M26 dan M44 adalah andalan saya buat sampai rumah sebelum maghrib — dulu macet masih terkontrol (at least) dan saya biasanya bisa sampai rumah dalam waktu 45 menit max.

Sekarang dengan adanya trans Jakarta dan MRT, ditambah lagi dengan taksi online/ojol yang semakin mudah dipesan dan terorganisir, angkot semakin sepi. Masih ada memang di jalan, tapi kebanyakan kosong atau sekedar ngetem menunggu penumpang. Well, saya sendiri pun sekarang pastinya lebih memilih angkutan umum yang lain. Tapi saat melihat angkot, rasanya seperti diingatkan untuk jangan jadi kacang lupa kulit. Sekarang alhamdulillah bisa naik angkutan yang nyaman, di masa depan belum tentu.

Setali tiga uang dengan angkot, masa sekolah saya pun akrab dengan pedangan asongan dan pengamen jalanan. Terminal Kampung Melayu tempat saya biasa naik angkot sehari-harinya pun ramai dengan komunitas mereka. Dan sekarang, saat melihat mereka masih berseliweran di jalan terutama saat macet melanda, rasanya dipaksa untuk merenung lagi. Saat saya berbagi hawa panas dan sumpek di terminal bus dengan mereka satu dekade yang lalu.

Mushallas dan adzan 🕌

Tinggal di negara non-Islam dan menjadi kaum minoritas berarti juga harus siap kehilangan privilege. Salah satunya adalah kemudahan untuk menemukan mesjid atau mushola dan menikmati suara adzan. Waktu masih di Singapura, alhamdulillah ini masih bisa terobati. Tapi di Berlin? Well, kiss those goodbyes.

Ada perasaan nyaman yang amat sangat untuk seorang Muslim saat mendengar adzan dikumandangkan di mesjid atau mushola terdekat. Susah untuk dijelaskan tapi saya pikir setiap Muslim diaspora pasti tahu bagaimana rasanya. Belum lagi kemudahan untuk mencari tempat shalat. Setiap SPBU hampir pasti punya mushalla. Sedang jalan-jalan ke mall dan sudah masuk waktu shalat? Mushalla di mall sekarang sudah bagus (beneran bagus saya kagum) dan ber-AC (read: nyaman). Tempat wudhunya juga kebanyakan sudah gabung dengan tempat shalat jadi yang perempuan bisa wudhu tanpa harus khawatir aurat terlihat dari luar. Mukena-mukena mushalla pun rata-rata wangi dan bersih, tanda dirawat secara rutin dan tentunya pemakainya pun menjaga kebersihan mukena.

Kemudahan-kemudahan yang dulu kita anggap sepele adalah sebuah kemewahan yang harus disyukuri.

Btw, saya sangat salut dan sempat terharu saat melihat mushalla di salah satu mall di Jakarta yang langsung PENUH beberapa menit setelah masuk waktu shalat Ashar. Ah, kangen :’)

***

Super senang karena mudik saya tahun ini jauh lebih berkesan daripada mudik-mudik sebelumnya. Mungkin karena waktu yang lebih lama dan memang tujuan pulang ini benar-benar buat mudik dan reconnecting with our roots (that — and food). Melihat perubahan Jakarta dan juga beberapa hal yang masih sama. Masih banyak yang belum sempat dilihat atau dicoret dari check list. Insya Allah next time.

Till then, Jakarta

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *